Politik Bukan Hanya ‘Angka’ – 3 Hari Menjelang Tenggang Tuntutan Rakyat: Transparansi. Reformasi. Empati

Beribu template berisikan kritik dan protes telah beredar luas di sosial media. Rakyat melakukan hal tersebut sebagai cara untuk membangun awareness satu dengan yang lainnya. Ada yang menyuarakan keresahan atas anggota DPR yang justru bersenang-senang di luar negeri, serta kekhawatiran atas pola pikir aparat yang sempit, membatasi ruang gerak dan komunikasi rakyat. Di tengah hiruk pikuk yang memanas, muncul Gerakan “17+8” yang menjadi udara segar bagi rakyat, diharapkan mampu memperlebar jalan agar tuntutan mereka sampai ke telinga para pejabat yang selama ini tutup telinga.

Situasi genting yang kini menghadapkan rakyat pada rasa takut tak terukur ini tak lain adalah buah dari kepayahan pemerintah untuk mendengar dan menampung aspirasi masyarakatnya. Sementara berbagai narasi negatif dan kabar hoax bertebaran tanpa kendali di media sosial, selama 4 hari rakyat menjerit minta didengar, namun tak satupun langkah nyata lahir menyentuh keinginan mereka. 

Kemana hilangnya telinga para pejabat? Kemana hilangnya rasa takut mereka akan Sang Pencipta? Praktik sumpah jabatan yang dilafalkan di atas Kitab Suci hanyalah formalitas selebrasi yang kosong makna, mengotori esensi sumpah itu sendiri, bagaikan secarik kertas kosong tanpa arti.

Darimana datangnya “17+8”?

“17+8” adalah simbol tuntutan yang memperlihatkan tajamnya dinamika politik Indonesia saat ini. Sebanyak 17 tuntutan mendesak harus dipenuhi sebelum tenggat 5 September, ditujukan kepada Presiden, DPR, Ketua Umum Partai Politik, POLRI, TNI, dan Kemenko Perekonomian. Sementara 8 tuntutan lainnya adalah agenda jangka panjang yang mengawal perubahan berkelanjutan untuk satu tahun ke depan.

Munculnya dukungan kuat terhadap kelompok “17+8” tak lepas dari penolakan masyarakat atas kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi saat demonstrasi berlangsung. Dimulai dari demonstrasi besar yang terjadi pada Jumat, 28 Agustus 2025 hingga Senin, 1 September 2025. Salah satu kejadian yang paling menyentuh adalah meninggalnya Affan Kurniawan, seorang sopir ojol yang menjadi korban atas sikap anarkis aparat kepolisian. Affan yang saat itu sedang bekerja di tengah demo, dengan mengenakan seragam hijau khas, terlindas saat aksi unjuk rasa berlangsung. Kejadian ini memicu kemarahan masyarakat sekaligus duka yang mendalam di kalangan rakyat saja. Sementara itu, warna pink menjadi representasi keberanian seorang ibu yang tampil di garis terdepan, mengenakan jilbab pink dengan gagah berani melawan tekanan aparat keamanan demi menuntut keadilan. Kedua warna ini menjadi simbol representasi keberanian dan perlawanan rakyat terhadap penguasa dan aparat yang tidak berpihak pada rakyat.

Tuntutan “17” menuntut langkah-langkah segera untuk memperbaiki transparansi anggaran, menghentikan kekerasan aparat, serta reformasi hukum. Politik harus hadir bukan hanya sebagai alat kekuasaan, melainkan instrumen yang mewadahi kebutuhan bagi rakyat. Sedangkan 8 tuntutan jangka panjang meliputi reformasi dasar sistem legislasi, penegakan hak asasi manusia, hingga pemberdayaan rakyat kecil secara ekonomi. 

Pemerintah kini dipertanyakan akuntabilitas serta pemenuhan tanggung jawabnya oleh masyarakat Indonesia. Tidak ada satupun parameter yang dapat diakses oleh rakyat mengenai transparansi kinerja maupun visi misi yang disampaikan saat kampanye. Saat ini, rakyat menguji pemerintah melalui KPI (Key Performance Indicator) yang dapat diawasi publik secara real time melalui platform digital. Situs ini dibuat atas dasar kepedulian rakyat akan pembenahan negeri guna menilai langsung proses serta langkah-langkah pemerintah terkait tuntutan 17+8. Rakyat sudah cukup mendengar banyak klarifikasi dan kalimat persuasi kosong yang keluar dari para pejabat. Rakyat hanya perlu diakomodasi oleh aksi nyata, bukan hanya cuap-cuap omon-omon tak berarti. Anda dapat mengakses KPI Pemerintah oleh Rakyat di situs berikut: https://tuntutanrakyat-2e476.web.app/ 

Makna Gerakan 17+8 dalam Demokrasi

Kematian Affan dan keberanian ibu berjilbab pink menjadi tanda bahwa politik di Indonesia begitu berkecamuk akan banyak hal: ini semua bukan soal angka suara atau kursi legislatif, melainkan sebuah simbol perjuangan, keadilan, dan empati. Gerakan “17+8” diharapkan dapat menjadi awal terbentuknya ruang dialog kritis dan menuntut adanya perubahan nyata dalam tata kelola negara. Nyatanya, kondisi parlemen saat ini masih didominasi oleh partai besar yang tidak peka pada aspirasi akar rumput. Bagaimana tidak, jarak antara mereka yang dipanggil “Perwakilan Rakyat” dengan rakyat itu sendiri begitu luar biasa jauhnya. Bagaikan ruang dimensi yang berbeda, keduanya bahkan tidak pernah bersentuhan dalam satu dimensi yang sama. Gerakan “17+8” menjadi pengingat bagi mereka yang mewakili rakyat bahwa legitimasi politik harus berjalan beriringan dengan tindakan konkrit dan bentuk komunikasi yang baik, bukan sekadar retorika politik semu dan kalimat-kalimat kotor yang tidak pantas ditujukan pada rakyat yang menggaji mereka.

Mayoritas yang menduduki kursi DPR saat ini dikuasai oleh partai-partai pendukung pemerintah. Kondisi ini membuat kebijakan atau undang-undang relatif mudah disetujui dan program bisa berjalan lebih cepat, namun di sisi lain fungsi oposisi sebagai pengawas demokrasi melemah. Menurut peneliti politik, Marcus Mietzner (2023), fenomena ini sebagai bentuk “pragmatisme elektoral” atau situasi di mana partai lebih mengutamakan posisi di pemerintahan daripada konsistensi pada ideologi mereka. Setelah Pemilu 2024, peta parlemen menunjukkan tidak ada partai yang berjalan sendiri, dari sini-lah lahir istilah “17+8”—simbol politik kompromi. Lebih dari sekedar angka, namun mampu menjadi simbol untuk menyeimbangkan kekuatan, hingga menjaga stabilitas.

Pink dan Hijau: Simbol Keberanian dan Harapan

Dalam gelombang “17+8”, warna pink dan hijau tidak hanya sekedar elemen visual, tapi juga sebagai suatu simbol:

  • Pink: berarti keberanian yang lahir dari kasih. Sosok ibu berkerudung pink yang sempat viral di media sosial, saat demo di depan gedung DPR (28 Agustus 2025) membuktikan hal ini. Meski menghadapi tekanan yang berat dari banyaknya aparat, gas air mata, namun ia tetap melawan dan berdiri tegak.
  • Hijau: berarti harapan dan reformasi. Warna ini menyiratkan bahwa perjuangan rakyat bukan hanya protes secara emosional, tapi juga upaya dalam merawat akar demokrasi dan merancang masa depan yang seimbang.

Bagi generasi muda, politik tidak hanya bicara kebijakan dalam angka dan jargon semata. Kami memerlukan simbol, narasi yang menyentuh nilai dan pengalaman sehari-hari. Warna pink dan hijau mewakili harapan dan keberanian yang kami butuhkan untuk berani melawan, merubah, dan bertindak. 

Akhir Kata

Terlepas dari narasi negatif yang memberikan framing buruk terhadap generasi muda yang apatis, “17+8” merupakan sebuah langkah besar dan positif yang diasosiasikan oleh sejumlah tokoh muda berpengaruh di media sosial seperti Jerome Polin (@jeromepolin), Salsa Erwina (@salsaer), Fathia Izzati (@kittendust), Abigail Limuria (@abigailimuria), Andovi da Lopez (@andovidalopez), dan Andhyta Utami (@afutami). Melalui akun Instagram mereka, yang telah ditandatangani oleh lebih dari 400.000 masyarakat Indonesia mulai digelorakan secara masif dan menjadi acuan bagi rakyat yang berdemonstrasi. Gerakan ini bertujuan memberikan tekanan sekaligus menjadi parameter bagi pemerintah agar benar-benar mendengar dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Sejatinya, gerakan ini diharapkan mampu menginspirasi rakyat untuk terus maju dan tidak takut untuk melawan.



Referensi:

Endah Wijayanti. (01 September 2025). Makna Warna Pink dan Hijau dalam 17+8 Tuntutan Rakyat: Transparansi, Reformasi, dan Empati. Fimela.com. https://www.fimela.com/lifestyle/read/6147509/makna-warna-pink-dan-hijau-dalam-178-tuntutan-rakyat-transparansi-reformasi-dan-empati?page=2

Binti Nikmatur. (02 September 2025). Poster 17+8 Tuntutan Rakyat Didominasi Warna Pink dan Hijau, Ini Maknanya. JatimTimes.com. https://www.kompas.com/jawa-tengah/read/2025/09/02/125620788/arti-warna-pink-dan-hijau-yang-viral-di-media-sosial-dan-cara-edit

Marcus Mietzner. (2024). The Limits of Autocratisation in Indonesia: Power Dispersal and Elite Competition in a Compromised Democracy. Taylor & Francis Online (International Journal of Asia-Pacific Studies). 

Ross Tapsell. (2017). Platform Convergence in Indonesia: Challenges and Opportunities for Media Freedom. The International Journal of Research into New Media Technologies. 

Mohamad Bintang. (2 September 2025). Apa Itu “17+8 Tuntutan Rakyat” yang Banyak Digaungkan Influencer. Kompas.com – Megapolitan. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/09/02/05561031/apa-itu-178-tuntutan-rakyat-yang-banyak-digaungkan-influencer 

Gina Zahrina. (2 September 2025). Viral di Medsos, “17+8 Tuntutan Rakyat” yang Diumumkan Jerome Polin dan Salsa Erwin: Begini Isinya. Tribunnews.com – Aceh. https://aceh.tribunnews.com/news/983645/viral-di-medsos-178-tuntutan-rakyat-yang-diumumkan-jerome-polin-dan-salsa-erwin-begini-isinya